Kamis, 02 Oktober 2014

Film Tabula Rasa (Review)

Tanpa babibu lagi, gue langsung aja. Film Tabula Rasa ini gue nonton tgl 29 September 2014 disalah satu bioskop di daerah Jakarta Timur. Sengaja gue pilih hari Senin, biar gak terlalu ramai dan saya bisa menonton dengan tenang tanpa gangguan pasangan muda-mudi yang kekurangan tempat kencan. Yup, gue nonton sendirian. 

Ini film pertama yang gue review di blog, sebelumnya sudah niat untuk mereview film-film yang gue nonton di bioskop seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Habibie & Ainun, Sang Kyai, Soekarno, Cahaya Dari Timur, Tampan Tailor, Aku Cinta Kamu, Perahu Kertas, Comic 8 (sembari mengingat-ingat...) dll, tapi gak pernah jadi, palingan gue bahas di TL atau gue bahas dalam hati, namun kali ini gue memilih untuk mulai menuliskannya karena kalau gue gak mulai, maka selamanya gue gak akan pernah melakukannya. "Starting Is Everything" adalah kuncinya!

Saya bukan kritikus film, saya bukan orang yang paham seluk beluk dan isitilah-itilah film, saya cuma penonton film, dan kadang-kadang menikmatinya.


Oke kita mulai....
Tokoh utama dalam film ini bernama Hans, seorang pemain bola yang berasal dari Serui Papua yang ingin mengejar mimpinya menjadi pemain sepakbola profesional di Jakarta, namun semua pupus sejak kakinya patah. Klub tempat dia bernaung mencampakannya, hingga ia akhirnya luntang-lantung di Jakarta, sampai pada titik terendah Hans ingin mengakhiri hidupnya.

Tokoh lain dalam film ini ada Mak, Parmanto, dan Natsir, mereka adalah pemilik, juru masak, dan pelayan pada rumah makan padang sederhana yang mereka bangun dari nol sejak hijrah di Jakarta setelah Sumatera Barat terkena gempa. Rumah makan padang yang mereka punya bisa dibilang biasa-biasa saja, cenderung lesuh. Sejak kehadiran Hans di rumah makan tersebut keadaan semakin parah, konflik mulai terjadi; beban bertambah, pemasukan berkurang ditambah lagi rasa makanan yang kurang greget. Semakin lama konflik semakin sulit dihindarkan, terutama antara Parmanto (juru masak) dan Hans hingga membuat suasana semakin runyam. Mak akhirnya lebih memilih Hans ketimbang Parmanto yang sudah berjuang bersamanya sejak awal, sang juru masakpun angkat kaki ke rumah makan Padang lain.

Sampai pada akhirnya Mak Sakit, Natsir ikut menjaga Mak ke Rumah Sakit, Hans sendirian. Sementara itu rumah makan mereka mendapat orderan dalam jumlah banyak untuk sebuah acara. Mampukah Hans mengerjakannya sendirian sementara dia bukan orang Padang? Kenapa Mak lebih memilih Hans? Bagaimana nasib rumah makan padang tersebut setelah ditinggal juru masaknya? Penasaran? Yuk nonton filmnya di bioskop, biar rasain sendiri konflik dan drama yang terjadi antaraa Hans, Mak, Parmanto dan Natsir.

Beberapa point yang bisa gue petik dari film ini:
1. Pluralisme: Hans ini beragama Kristen dan berasal dari timur Indonesia, sementara Mak, Parmanto, Natsir adalah muslim yang berasal dari barat Indonesia
2. Prinsip: a. Rata-rata perantau itu ogah pulang sebelum berhasil. b. Menomorsatukan kualitas (rasa) dibanding kuantitas. "Kalah membeli, menang memakai"
3. Meraih impian itu tidak mudah, dan cita-cita bisa saja berubah saar terbentur pada realita. Yup, menjadi  dan bekerja apa dirantau orang bisa sangat jauh berbeda dengan apa yang kita impi-impikan.
4. Selalu ada malaikat penyelamat disaat-saat genting dalam hidup
5. Orang yang kita anggap tidak bisa dan kita remehkan bisa saja melakukan hal yang jauh lebih hebat dari yang kita pikirkan
6. Kritik sosial ekonomi : "Barang impor lebih murah daripada barang lokal". Persaingan antara Usaha Kecil Menengah dan Pemilik Modal Besar
7. Dalam berbisnis, film ini mengajarkan kita untuk mengenal saingan dengan mengetahui kelebihan dan  kekurangan produknya.
8. Gak perlu adegan kematian, putus cinta dan sejenisnya untuk membuatmu menangis, cukup melihat  adegan "makan ikan" (khususnya adegan makan gulai kepala kakap oleh Parmanto) saja mata gue sudah berkaca-kaca.

Over all, gue suka filmnya meski gak puas sama endingnya :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar